Sabtu, 12 Agustus 2017

[Cerpen] Tabir Part 1

[Cerpen] Tabir via shutterstock.com

[Cerpen] Tabir Part 1 - Aku ingin merantau. Mengadu nasib di tanah orang, seperti Para misalnya. Tanah ini sudah tidak lagi bisa ditanami padi, singkong, sayuran. Kita tidak bisa lagi berkebun, bercocok tanam. Jaman sudah berubah. Tidak sama seperti saat aku masih bocah, digendong Si Mbok ke sawah, mengantar makanan untuk Bapak, bertanya banyak hal tentang bagaimana Si Mbok dan Bapak bisa menanam padi serapih itu, padahal berkali-kali aku ikut mencoba, hasilnya selalu saja berantakan. Bertanya bagaimana Si Mbok dan Bapak membuat orang-orangan sawah untuk mengusir burung.

Di musim panen yang entah ke berapa kala itu, aku lebih riang dari biasanya, karena mereka telah memperbolehkanku ikut memanen. Dengan sangat canggung jemariku memegang ani-ani, satu dua batang padi terpotong, juga ujung jari telunjukku tergores, berdarah. Melihat tanganku berdarah Si Mbok panik, berteriak memanggil Bapak. Aku segera dibawa ke gubug, Bapak menyuci luka dengan air minum dari cerek, lalu Si Mbok buru-buru menyobek ujung bajunya untuk membalut lukaku. saat itu aku merasa sangat bersalah, karena bertambah lagi baju Si Mbok yang sobek.

Hari berikutnya aku ikut memanen lagi meski jariku belum sembuh. Si Mbok dan Bapak melarang, tapi aku tetap ngotot. Akhirnya mereka memperbolehkan, dengan syarat aku berjanji akan lebih hati-hati, dan aku berhasil menepatinya. Di musim panen berikutnya dan seterusnya, aku sudah semakin mahir menggunakan ani-ani, ikut membantu gepyok, tenagaku sudah mampu merontokkan bulir-bulir padi dari tangkainya.

Sekarang, tidak ada lagi pemilik sawah yang meminta kita menggarap sawahnya. Sawah-sawah mereka dijual untuk didirikan pabrik dan perumahan. Seperti yang kusaksikan saat ini, bertruk-truk tanah digunakan untuk menimbun sawah, kabarnya akan dibangun sebuah perumahan lagi.

“Mbok, Pak, Nurul ingin merantau.” Kataku, kepada Si Mbok dan Bapak yang sedang menganyam bambu, selepas pulang dari gubung di pinggir sawah yang hampir diratakan dengan tanah.

Mereka saling tatap. Kemudian Si Mbok berhenti menganyam, memintaku duduk di sampingnya, “Nduk, mau merantau kemana? Mau kerja apa di tanah orang?”

“Kemana saja. Kerja apa saja. Tetangga-tetangga kita sepulang merantau sukses, bisa membangun rumah di sini.”

“Kalau kamu merantau ngajinya bagaimana?” Bapak ikut bicara.

“Nanti Nurul bawa Al-Qur’an, Pak. Insyaallah tetap istiqomah hafalannya.” Aku mencoba menyakinkan.

Si Mbok dan Bapak terdiam. Suasana lengang sejenak. Hanya terdengar bunyi gesekan bambu yang sedang dianyam.

“Lulusan SMP mau kerja apa, Nur?” tanya Bapak kemudian, “Maaf ya, Nur. Bapak dan Mbokmu hanya mampu menyekolahkanmu sampai SMP.” Bapak menunduk, ada sesal di garis-garis wajahnya yang semakin menua.

Aku jadi semakin merasa bersalah, keinginanku untuk meratau berujung pada keharusan melihat wajah sesal itu. Bapak bangkit, keluar menuju pekarangan belakang rumah, disusul oleh Si Mbok.

Merantaulah, Nur!

“Nurul,” panggil Si Mbok keesokan harinya, di pagi yang cerah ketika aku sedang menyapu halaman. Mendengar panggilan itu, aku segera mendekat.

“Masuk, Nduk. Bapak ingin bicara, “Kata Si Mbok.

Aku membuntuti  Si Mbok masuk, menghampiri Bapak yang duduk di lincak.

“Merantaulah, Nur.” Bapak membuka pembicaraan.

Ada rasa tidak percaya ketika mendengarnya, kupikir mereka tidak akan mengijinkanku merantau.

“Berkemaslah. Sebentar lagi Ustadz Hamzah akan mengantarmu ke pondok pesantren milik temannya.”

“Pondok?”

“Iya, teman Ustadz Hamzah itu punya yayasan, ada pondok dan sekolahnya. Gratis untuk orang-orang yang kurang mampu seperti kita. Di sana kamu bisa melanjutkan sekolah ke  SMA, mengaji, melanjutkan hafalanmu.”

Suara Lelaki Itu ...


Aku harus belajar beradaptasi dengan lingkungan baru di tanah rantau, jauh dari Si Mbok dan Bapak, belajar mandiri, bertanggungjawab atas amanah yang kuemban, berusaha memenuhi harapan-harapan mereka atas anak perempuan satu-satunya. Tidak ada seharipun yang kugunakan untuk bersantai, setiap hari adalah perjuangan untuk masa depan. Man jadda wa jada, begitu kan?

Tapi aku hanyalah manusia biasa, yang syarat akan goda. Ya, aku tergoda oleh seorang santri putra pemilik suara termerdu yang pernah kudengar. Aku bertemu dengannya di ndalem,  saat aku sedang piket memasak, tiba-tiba dia masuk membawa setundun pisang.

“Assalamu’alaikum”

“Wa’alaikum salam.” Aku menoleh, seharusnya tidak boleh kulakukan, cukup menjawab saja. Tapi suaranya, astaghfirullahal’adzim, hatiku berdebar semakin kencang ketika mata kami saling tatap sejenak.

Lanjut membaca: [Cerpen] Tabir Part 2

Baca juga: [Cerpen] Pertunjukkan

Penulis: Anggita Aprilia Sari
Editor: Noval Irmawan

Submit Public Comment Here
EmoticonEmoticon