Rabu, 02 Agustus 2017

[Cerpen] The Laundry Part 2

[Cerpen] The Laundry Part 2 via aljamila.com

[Cerpen] The Laundry Part 2 - “Oke, aku lepas sekarang!” lelaki itu mulai melepas kaosnya. Aku berteriak sambil menutup mata dengan telapak tangan.

“Kenapa teriak?” tanyanya.

“Kamu porno banget ya, masa lepas baju di sini.”

Lelaki dihadapanku tertawa, aku mengintip lewat sela jari. Kaos itu masih melekat di badannya.

“Balikin baju-bajuku dan dress itu setelah kamu cuci bersih di laundry-an yang kemarin. Jangan kelamaan, besok harus udah dibalikin.”

“bajuku sama kaos itu juga. Besok ketemu di laundry-an.”

“Oke. Jam empat tepat.”

Setelah berucap demikian, dia pergi. Punggungnya menghilang di tengah kerumunan. Teman-temanku memanggil, salah satu dari mereka mengangkat sepiring nasi uduk dan jus jambu pesananku. Aku mendekat, kemudian dihujani pertanyaan tentang lelaki itu sebelum akhirnya menyantap pesananku.

“Jadi, nama kalian samaan?” tanya Leni.

“Iya gitu deh.”

“Wah, jangan-jangan jodoh.”

Aku melirik, kemudian memelototkan mata kepadanya. Yang dipelototi tertawa kecil sambil menutup mulut burung beonya itu.

Short Dress Bunga-bunga

Baju milik lelaki itu terkena air kencing kucing milik Ibu kos, aku lupa tidak mengunci kamar sebelum berangkat kuliah. Alhasil monster kecil itu kencing sembarangan di kamarku. Setelah berganti baju, aku segera pergi ke Ipong Laundry. Hari berikutnya, seperti kesepakatan, aku dan Luky bertemu di Ipong laundry untuk saling mengembalikan baju yang tertukar, kebetulan kuliahku libur.

Dengan santai aku mengendarai sepeda motor, kemudian menepi ke Ipong Laundry. Seorang lelaki terlihat sedang berdebat kecil dengan Ipong, pemilik laundry yang sudah kukenal sejak lama.

“Pong,” sapaku.

Mereka berhenti berdebat, Ipong menyapaku, lelaki itu yang ternyata adalah Luky langsung memintaku menunjukkan struk pengambilan laundry.

“Buruan kasih lihat, biar bisa diambil baju-bajuku! Ini baju kamu.” Luky menyodorkannya.

“Iya, iya. Nggak sabaran amat jadi orang.”

Ipong mencari-cari bungkusan baju atas nama Luky. Cukup lama, lelaki itu terlihat gelisah, mengetukan jemarinya ke meja.

“Lama banget sih?”

“Duh, sabar cin. Tiba-tiba nama Luky jadi banyak binggo.”

Lelaki di sebelahku melirik ke jam tangannya, semakin gelisah, kemudian bangkit, “Eh Luky cewe, aku nggak bisa nunggu kelamaan. Aku harus pergi sekarang. Nanti kalau bajunya udah ketemu, kamu buruan nyusul aku ke taman kota.”

Belum sempat kujawab, dia pergi begitu saja, mengendarai sepeda motor matic. Menyebalkan.

“Loh, kemana Luky cowok? Ini bajunya udah ketemu, Cin.”

“Udah pergi dia. buru-buru katanya.”

Setelah membayar, aku pergi ke taman kota. Celingukan mencarinya sambil membawa sekantong plastik hitam berisi baju. Beberapa pengunjung menatapku, mungkin mereka bertanya-tanya apa yang kubawa. Kakiku mulai terasa pegal, berkeliling mencarinya.

Kuputuskan untuk duduk terlebih dahulu, memebeli minuman dingin, meneguknya. Kembali kuedarkan pandangan mencari Luky. Dapat, dia sedang duduk tidak jauh dari tempatku saat ini, bersama seorang perempuan. Aku berlari kecil menghampiri mereka.

“Luky, ini bajunya.” Seruku sambil mengangakat kantong plastik di tangan kiri.

Tentang Dress dan Kaos


Mereka menoleh. Luky memberi isyarat agar aku mendekat. Sekarang aku, dia, dan perempuan itu duduk di satu kursi panjang.

“Sya, aku masih sayang sama kamu. buktinya, aku masih simpan dress yang aku beli buat kamu, Sya. Dress yang kamu balikin ke aku waktu kita putus. Kamu masih ingat kan?”

Aku terdiam, sambil sedikit menguping obrolan Luky dengan permpuan itu. sebenarnya tanpa menguping pun aku dapat dengan jelas mendengarnya. Luky menyikut lenganku beberapa kali, “Eh Luky cewek, mana dressnya?” tanyanya lirih.

“Ada di dalam plastik ini.”

“Buruan keluarin.”

Kuacak-acak seisi plastik, mencari short dress bunga-bunga, kemudian menyerahkan kepadanya.

“Lihat, Sya. Ini dressnya, kamu masih ingat kan? Setiap minggu aku pasti bawa ke laundry-an walaupun nggak kotor. Aku masih jaga ini baik-baik, kayak aku jaga perasaanku ke kamu, Sya.”

Astaga, aku mual mendengar kata-kata gombal lelaki itu. Si perempuan masih terdiam.

“Sya?”

“Luky, itu cuma baju. Bukan simbol cinta atau semacamnya. Nggak ada gunanya kamu masih simpan, apa lagi ngelaundry-nya setiap minggu. Nggak perlu, Luky. Mau kamu simpan sampai kapanpun, mau kamu laundry berapa kalipun, aku nggak akan bisa balik ke kamu.”

Sekarang Luky yang diam, menunduk sambil memegang short dress bunga-bunga.

“Luky, aku harap kamu paham.” Ucap si perempuan.

“Kenapa kamu tinggalin aku, Sya? Kenapa kamu lebih pilih lelaki lain?” Luky bertanya dengan suara parau setelah beberapa saat terdiam, jemarinya meremas short dress bunga-bunga di tangannya.

Rasa mualku hilang, sekarang aku seperti sedang menyaksikan pertunjukkan drama tentang cinta.

“Luky, kamu itu nggak punya cita-cita. Arah tujuan hidup kamu nggak jelas. Aku nggak suka lelaki yang nggak punya target dalam hidupnya. Sedangkan dia, lelaki yang aku pilih, dia punya cita-cita, arah tujuan hidupnya jelas. Kamu banyak omong ini itu, tapi kosong. Not action, talk only.”

Si perempuan bangkit, melangkah pergi, tanpa ada raut bersalah di wajahnya. Sementara Luky masih tertunduk. Lengang. Kutawarkan minum kepadanya, tapi dia menolak. Hening.

Tentang Cita-cita


“Kamu ditinggalin seseorang karena nggak punya cita-cita, sedangkan aku ditinggalin seseorang karena dia ingin mengejar cita-citanya. Hidup terkadang lucu ya?” aku mulai membuka bercakapan, berharap keheningan itu pecah. Luky menghela nafas, kemudian meneguk sebotol minuman dingin yang tadi ditolaknya.

Luky tersenyum kecut, matanya menatap lurus ke depan.

“Iya, lucu.”

“Eh, tapi ada benarnya juga apa yang dibilang cewek tadi. Buat apa kamu masih simpan dress itu. aku jadi ingat kaos yang kemarin kamu pakai. Kaos itu milik, Beni, mantanku. Sampai sekarang aku juga masih simpan baik-baik kaosnya dengan harapan dia bakalan balik suatu saat nanti, dan aku akan kasih lihat kaos itu sebagai bukti kesetiaanku.”

“Masih mau simpan kaosnya?”

Aku menggeleng, tersenyum, “Nggak.”

“Sekarang dimana kaosnya?”

“Ada di motor.”

“Yuk, ambil.”

Aku dan Luky pergi ke parkiran, mengambil kaos milik Beni. Kemudian dia mengajakku pergi, entah kemana. Aku hanya mengikuti di belakang. Setelah lima belas menit, dia berbelok ke gang, kemudian berhenti di depan sebuah rumah.

“Ini kosku. Masuk aja. Naik ke atap lantai dua. Tunggu di sana. aku mau ambil sesuatu.” Katanya.

Aku menaiki tangga menuju ke atap lantai dua. Tidak lama kemudian, Luky datang membawa sebuah tong sampah yang terbuat dari besi.

“Masukin kaosnya.”

“Mau dibakar?”

“Iya.”

Kumasukkan kaos milik Beni, Luky juga memasukkan short dress milik si perempuan itu, membakarnya.

“Jadi, setelah ini apa?” tanyaku.

“Kamu punya cita-cita?” dia balik bertanya.

“Punya sih, tapi..”

“Luky cewek, tadi kamu bilang aku ditinggalin karena nggak punya cita-cita, dan kamu ditinggalin karena dia mau ngejar cita-citanya. Jadi, sekarang aku harus punya cita-cita, dan kamu harus kejar cita-citamu, bukan untuk mereka, tapi untuk kebaikan diri kita sendiri.”

Aku tersenyum mencerna kata-katanya. Orang yang patah hati terkadang menjadi sangat bijak. Setelah sepakat dengan hal apa yang akan kami lakukan masing-masing, aku dan Luky berpisah di senja yang masih orange.

Baca juga: [Cerpen] Tiada Lagi Rumah yang Rindu

Kisah The Laundry


Kami sering bertemu di Laundry secara tidak sengaja. Ya, kami memang memutuskan untuk tidak saling bertukar nomer ponsel, berteman secara intens, atau menyengaja bertemu. biarkan waktu yang mempertemukan dan memberikan kami ruang untuk saling bercerita tentang kesepakatan di senja kala itu.

Sebelumnya: [Cerpen] The Laundry Part 1

Penulis: Anggita Aprilia Sari
Editor: Noval Irmawan

Submit Public Comment Here
EmoticonEmoticon