Cerpen Tiada Lagi Rumah yang Rindu - Sejak tiga tahun yang lalu, tepatnya ketika usiaku menginjak dua puluh lima tahun, kuputuskan untuk meninggalkan sebuah rumah yang dulu sempat tercipta tawa dan kehangatan dari balik biliknya. Rumah yang nyaman, bahkan teramat nyaman. Dimana aku biasa duduk di dekat perapian menjelang malam, menghangatkan badan sambil menuliskan cerita antara aku dan dia sehari-hari.
Secangkir teh selalu menemani, juga fotonya di atas meja yang terbingkai apik. Foto itu diambil dalam suatu episode cerita kita, pada sepotong senja di dekat air mancur yang menjadi ikon kota ini. Semuanya sangat indah, pada saat itu.
Setiap kali dia pulang, lelaki itu pasti menanyakan kabar ceritaku. Sudah sampai mana jalan ceritanya, bagaimana nasib bunga dan kumbang, apakah cerita romeo dan juliet selalu begitu-begitu saja? Dan aku akan kesal, karena berkali-kali kujelaskan, dia tidak juga mengerti, kemudian kubilang, “Kamu tidak usah tahu soal pendongeng,”. Kemudian dia akan tertawa, bersandar di bahuku, merayu minta disuapi makan. Kalau sedang lelah, dia memang bertingkah seperti anak-anak.
Lelaki itu suka membaca ceritaku, meskipun dia sendiri tidak memahaminya barangkali. Katanya, asal aku suka menulis, menulislah, maka dia akan menjadi pembaca yang setia, atau pendengar yang setia jika dia sedang ingin aku yang membacakannya. Lama kelamaan, dia jarang sekali bertanya tentang ceritaku, tidak mau mendengarkannya lagi. Lebih memilih menarik selimut kemudian membenamkan mata.
Hingga pada suatu malam, dia pulang dengan pakaiannya yang berantakan, menatapku dengan cukup aneh, seolah tidak mengenalku lagi.
“Aku bosan dengan cerita-cerita itu, Nay. Barusan aku bertemu dengan seorang wanita yang menyuguhkan cerita berbeda, lebih menarik ketimbang kamu. Ah, aku sungguh hanyut dalam ceritanya, memabukkan. Sungguh, Nay.”
Mataku berkaca-kaca, sungguhkah dia berucap demikian?
Baca juga: [Cerpen] Eiffel in Memories
Tiada Lagi Rumah yang Rindu
Akhirnya aku benar-benar meninggalkan rumah, aku sempat duduk di dekat perapian. Bukan untuk menghangatkan badan, menulis, menikmati secangkir teh, tapi untuk membakar kenangan.
Sampai hari ini, aku masih berjalan, berkeliaran di luar rumah, bahkan jauh dari rumah. Hal yang tidak pernah kulakukan sebelumnya, kecuali bersama dia. tidak jarang aku berjumpa dengan perampok, copet, dan pembunuh. Tidak jarang juga bertemu dengan orang yang baik. Menawarkan tempat singgah, juga secangkir teh, minuman yang sangat kurindukan.
Tetapi orang yang kukira baik, kebanyakan adalah serigala berbulu domba. Mereka hanya ingin mencabik lukaku lebih dalam lagi, meneteskan darah lebih banyak lagi. Aku terus berjalan menapaki jalanan penuh bunga dan warung-warung anggur memabukkan. Taman, air mancur, kebun mangga hingga kebun salak, semua sudah kutapaki dengan kaki telanjang. Luka di kaki sudah biasa, begitu juga dengan luka di hati.
Beberapa hari yang lalu, aku pernah memutuskan untuk berlari, ingin cepat sampai di rumah, sesekali saja berhenti, sekedar minum. Tapi tidak kutemui arti dari perjalanan, sebab aku berlari tertalu kencang, sehingga tidak sempat kuterjemahi segala yang kutemui di jalan. Ternyata, berjalan lebih mengasyikan. Menyapa kupu, bergantian lewat dengan barisan semut, kemudian memandang barisan serwiti di langit.
Sesekali kerinduanku kepada rumah sedikit terobati. Tapi tidak berlangsung lama, hanya sebentar saja. Hari-hari berikutnya, aku kembali diserbu rindu. Aku takut, tidak lagi ketemui jalan pulang ke rumah atau bahkan rumah itu sudah terlarang untuk kurindui. Jika rumah adalah tempat untuk berpulang, maka jadilah rumah untukku. Sebab, aku sudah terlalu lama di luar, dan aku takut. apakah dia tidak tahu hal itu?
“Nay, Wildan akan menikah besok. Sabar ya, sayang. Belum jodohnya.”
Gemetar aku menerima undangan yang Ibu sodorkan. Wildan akan membangun rumahnya dengan wanita lain. Rumah kami yang dulu barangkali sudah rata dengan tanah, dijadikan pemakaman. Ah, rumahku sayang, rumahku malang, memang.
Baca juga: [Cerpen] Perihal Pilihan dan Bagian Almira
[Penulis: Anggita Aprilia Sari]
Submit Public Comment Here
EmoticonEmoticon