Sabtu, 05 Agustus 2017

[Cerpen] Bunga Mawar di Persimpangan

[Cerpen] Bunga Mawar di Persimpangan via hipwee.com

Cerpen Bunga Mawar di Persimpangan - Angin menampakkan sisi seramnya. Biasanya dia berhembus lembut. Namun sekarang ia mengugurkan daun-daun yang membuat pekerjaan pengurus taman bertambah, menyapunya selepas taman tutup pukul sembilan malam. Tapi senja kali ini, dia mengamuk membentuk sebuah pusaran yang masih samar. Nampaknya dia pandai memilih tempat untuk mengamuk, yaitu di sebuah taman kota yang ramai pengunjung.

Seorang gadis sedang menangis di kursi panjang yang terletak di pojok taman. Dia terus saja menangis meski orang-orang berlarian kalang kabut menyelamatkan diri. Barangkali kesedihan yang kini mengerogitinya teramat memilukan. Seorang lelaki baru saja menyelamatkan bocah yang terjebak di permainan tentara merayap.

“Om, om, itu ada orang di sana!” seru bocah perempuan itu sambil menunjuk ke arah si gadis.

Lelaki itu menajamkan pandangannya yang sedikit terganggu oleh debu dan daun yang berterbangan. Pupil matanya menangkap bayangan gadis itu yang sekarang terjerembab di rumput. Tanpa pikir panjang, lelaki itu berlari menyelamatkan gadis itu, melawan angin yang diikuti oleh teriakan dan larangan dari pengunjung lain yang telah berhasil keluar dari taman.

Kisah Itu Mulai Dirajut

“Seharusnya kamu nggak perlu menolongku waktu itu, biar aku mati saja dimakan angin.” Ujar Risa kesal. Diremasnya kertas di tangan. Itu adalah puisi yang susah payah dibuatnya untuk mata kuliah bahasa Indonesia.

“Loh, kalau kamu mati, kamu nggak bakalan dengar berita terkini tentang mantanmu dengan pacar barunya kan?” Arka menggoda gadis yang baru dikenal seminggu yang lalu pasca bencana angin puting beliung.

“Justru itu. Kalau aku mati kan jadinya nggak sesakit ini, Ka.” Risa membuang kertas puisinya sembarangan. Arka memungutnya, kemudian disimpan di tas. Bagi Arka, Risa adalah gadis yang menyedihkan, rela mati demi kekasihnya. Seperti tidak ada lelaki lain saja, begitu pikirnya.

“Terus kalau kamu mati waktu itu, kamu pikir dia bakalan putus sama pacar barunya?”

Risa memanyunkan bibir, “Ya nggak tentu juga sih. Udah deh, mending kita ke kantin.”

Dua minggu mereka saling kenal, Risa sudah banyak menceritakan masa lalunya kepada Arka. Dari sanalah sedikit banyak Arka tahu sifat gadis itu. Cerewet, manja, tukang ngambek, perhatian tapi berlebihan, posesif, dan yang Arka salut dari Risa adalah dia seorang gadis yang setia. Bagaimana tidak, berkali-kali diduakan, bahkan ditinggalkan, dia masih saja mempertahankan pacarnya. Risa sempat mengutarakan keinginannya untuk menghancurkan hubungan mantan kekasihnya itu. Arka jelas tidak setuju jika Risa melakukannya.

“Oke kalau kamu nggak setuju dan nggak mau bantu. Gimana kalau kita main yang lebih aman dan keren.”

“Apa?”

“Jadi detektif. Kita menyelidiki, beneran nggak sih mereka pacaran. Soalnya nih, aku belum pernah sekalipun lihat mereka jalan bareng, Ka. Gimana?”

Arka menggeleng, menyedot soda susu di depannya, “aku nggak ikutan ulah kekanak-kanakan kamu, Ris.”

“Kekanak-kanakan? Eh, dengar ya Arka, kalau kamu nggak mau bantu ya udah nggak usah, pake ngatain kekanak-kanakan segala. Aku bakalan buktiin sendiri kalau mereka nggak pacaran.”

Risa meninggalkan Arka yang kembali menyedot soda susu sembari menatap punggung Risa. Bagi Arka yang saat ini berusia 25 tahun, tentu ide Risa yang baru berusia 19 tahun  sudah tidak relevan dengannya.

Menjadi Sorang Detektif

Seminggu, Risa sama sekali tidak menghubungi Arka. Arka tahu bahwa saat ini Risa sedang sibuk-sibuknya menjadi seorang detektif. Pernah dua kali Arka mendapati Risa sedang mengintip bilik di perpustakaan, ada seorang lelaki dan perempuan di sana, dari belakang memang nampak seperti mantannya, tapi setelah si lelaki menoleh, Risa gugup mengalihkan pandangan. Sampai akhirnya mata Risa dan Arka bertemu.

Arka tersenyum. Risa berjalan cepat menuruni tangga tanpa sedikitpun membalas senyum Arka. Keesokan harinya Arka mendapati Risa sedang duduk sendirian di taman yang biasa digunakan para mahasiswa untuk berdiskusi. Dia tampak muram, duduk berpangku dagu, matanya mengamati ke sekeliling.

Kemuramannya disebabkan karena sampai saat itu dia belum juga melihat dengan mata kepala sendiri bahwa mantannya memang benar-benar mempunyai pacar baru. Arka sangat ingin menghampirinya, tapi mengingat bagaimana respon Risa ketika mereka bertemu di perpustakaan, Arka mengurungkan niatnya.  

“Ka, aku gagal jadi detektif.”

Arka sedikit terkejut dengan kedatanagn Risa di dalam kelasnya seusai perkuliahan. Teman-teman Arka menoleh ke arah Risa, beberapa dari mereka berbisik-bisik. Kebanyakan teman Arka masih seumuran Risa. Arka adalah yang tertua, dia sempat putus kuliah karena harus bekerja ampai akhirnya dia bisa berkuliah lagi di kampus yang berbeda.

Mulut lelaki itu terbuka selama beberapa detik, bola matanya tidak berkedip menatap Risa. Entah kapan terakhir kali ada seorang gadis yang berani menghampirinya ke kelas. Seingatnya, yang terakhir datang adalah..

“Arka!” seru Risa membuat mulut Arka kembali tertutup dan matanya berkedip berkali-kali.
Arka bangkit, menarik lengan Risa keluar kelas. “Ih, kenapa sih, kamu malu ya gara-gara disamperin cewek?”

“Nggak juga.”

“Terus?”

“Jadi, udahan nih jadi detektifnya?” Arka menggoda Risa yang memasang muka kesal. Gadis muda di hadapannya akan cepat tua jika kerjaannya marah-marah dan kesal setiap hari.

“Udah.”

“Jadi, udah percaya kalau mereka pacaran?”

“Nggak juga.”

Arka menggaruk rambut kepalanya yang tidak gatal. Kemudian mengambil kunci motor di tas.

“Oke, waktunya jalan-jalan.” Arka mengangkat kuncinya.

“Kemana?”

“Kemana aja, ngabisin bensin.”

Baca juga: [Cerpen] The Laundry

Di Sebuah Jalan

Cuaca siang itu cukup membuat keringat bercucuran dan membakar kulit. Risa berkali-kali protes karena kepanasan. Arka tidak menghiraukan dan tetap fokus mengendarai motornya. Lelah, Risa diam dan nampaknya mulai bisa menerima jalan-jalan siangnya.

Risa berusaha menghibur diri dengan membaca tulisan-tulisan di pinggir jalan, seperti reklame, baliho, banner toko dan lainnya. Sisi kiri jalan lama-kelamaan membuatnya bosan juga, lagi pula lehernya mulai pegal karena terus menengok.

Risa membetulkan posisi duduknya hingga membuat motor sedikit oleng. Kemudian dia menengok ke sisi kanan, matanya terbelalak, kurang yakin dengan apa yang dilihat, Risa membuka kaca helm. Tampak seorang lelaki yang begitu dia kenal sedang berboncengan mesra dengan seorang wanita.

“Ka, itu mantanku sama pacarnya.” Risa berbisik,  menepuk-nepuk pundak Arka.

Arka mengurangi kecepatan, membuka kaca helm, “Mana, Ris?”

“Itu disebelah kita.”

Arka menoleh kepada pengendara di sebelahnya. Benar, dia adalah mantan Risa. Beberapa jam setelah dia menyelamatkan Risa, gadis itu memperlihatkan wajah seorang lelaki yang menjadi alasannya menangis.

“Oh, iya.” Itu saja yang bisa keluar dari mulut Arka. Dia tidak tahu harus menanggapi Risa bagaimana. Saat ini perasaan gadis yang sedang duduk di jok belakang motornya pasti sedang sangat terpukul.

Terkadang Kita Butuh Melihat

Arka menghentikan motornya di tempat parkir bendungan. Risa turun, melepas helm. Kemudian melangkah mendekati batas aman antara pengunjung dan bendungan yang diresmikan pada masa pemerintahan presiden Soeharto. Arka berlari menghampiri Risa yang bisa saja tiba-tiba melompat bunuh diri.

“Ris, please jangan lakukan hal-hal bodoh lagi.” Arka panik.

Risa memandang lepas pemandangan yang ada di hadapannya selama beberapa menit. Rambut panjangnya tersibak semilir angin. Arka masih degan kepanikannya.

Risa menoleh, “Arka,” panggilnya disertai dengan senyum simpul yang manis.

“Ya?”

Risa menghela nafas panjang, “Terkadang kita butuh melihat, tidak hanya mendengar dan merasakan, agar kita percaya.” Setelah berucap demikian, Risa tertawa, berteriak sekencang-kencangnya. Arka menatap gadis itu sejenak, ikut berteriak, kemudian tertawa bersama setelah teriakan mereka hilang ditelan ngalir air di bendungan.

Setelah mengantar Risa pulang, Arka mendatangi sebuah makam yang dari dulu tidak pernah dipercayainya bahwa perempuan yang tertidur di bawah nisan adalah kekasihnya dan sejak hari itu dia percaya, bahwa kekasihnya memang sudah tiada, sejak enam tahun lalu.

“Benar kata Risa, terkadang kita butuh melihat” gumamnya lirih, entah sedang berbicara dengan siapa. Arka menatap nisan bertuliskan nama kekasihnya, meletakkan rangkaian bunga mawar dan mendoakannya, kemudian bangkit, melangkah ke luar area pemakanan dengan senyum merekah di bibirnya.

“Aku akan lebih berani melihat kenyataan, Ris. Semoga kamu juga.” Ucapnya dalam hati.

Baca juga: [Cerpen] Pertunjukkan

Penulis: Anggita Aprilia Sari
Editor: Noval Irmawan

Submit Public Comment Here
EmoticonEmoticon